A. Latar Belakang Munculnya Metode Langsung
(Direct Method)
Metode
langsung (al-thariqah al-mubasyiroh/ direct method) dikembangkan oleh Carles
Berlitz, seorang ahli dalam pengajaran bahasa di Jerman menjelang abad ke-19.
Faktor kemunculannya dilatar belakangi oleh penolakan atau ketidakpuasan
terhadap metode tata bahasa dan terjemah. Pada saat itu memang metode tata
bahasa dan terjemah merupakan metode pengajaran bahasa kedua dan asing yang
populer. Akan tetapi di tengah kepopulerannya muncul banyak ketidak puasan
dibanyak kalangan, sehingga muncullah kritik bahkan penolakan terhadap metode
ini. Secara lebih rinci
faktor-faktor itu adalah :
a. Pada saat penduduk eropa semakin
bertambah, tingkat komunikasi mereka semakin kompleks. Hal ini mengakibatkan
kebutuhan mereka untuk menguasai satu bahasa ( misal, bahasa Inggris) sebagai
Lingua Franca secara aktif dan produktif semakin mendesak. Buku-buku sumber
yang ditemukan pada waktu itu kurang memuaskan mereka, karena pada umumnya
tidak mengajarkan penggunaan bahasa tujuan secara praktis dan efektif,
melainkan berbicara tentang bahasa tujuan.
b. Dibeberapa negara Eropa pada waktu itu,
pendekatan-pendekatan baru pada pengajaran bahasa tujuan yang dicetuskan oleh
para ahli pengajaran bahasa secara terpisah-pisah memberikan ide kepada guru
bahasa tujuan untuk mengangkat metode lain yang dipandang lebih baik untuk
mengajarkan bahasa tujuan. Hal ini membuka jalan mereka untuk memunculkan
metode langsung.
Meskipun metode langsung merupakan reaksi kuat
terhadap metode tata bahasa dan terjemah, namun orang-orang telah lebih dulu
menggunakannya dalam mengajarkan bahasa asing. Nababan (1993:15) menyebutkan
bahwa penggunaanya telah berlangsung sekitar abad ke-15 ketika para pemuda
Romawi diberi pelajaran bahasa Yunani oleh guru-guru bahasa dari Yunani. Namun
penggunaan metode langsung pada waktu itu tidak benar-benar sebagai metode
langsung, “kelangsungannya” dapat dikatakan tidak murni seratus persen, sebab
dalam beberapa hal masih menggunakan bahasa ibu dan kedua. Baru mulai tahun
1920-an, beberapa ahli pengajaran yang secara terpisah menggunakan metode
langsung secara murni dan sistematis.[1]
Metode
ini dikembangkan atas dasar asumsi bahwa proses belajar bahasa kedua atau
bahasa asing sama dengan belajar bahasa ibu. Juga didasarkan atas asumsi yang
bersumber dari hasil-hasil kajian psikologi asosiatif. Berdasarkan kedua asumsi
tersebut, pengajaran bahasa khususnya pengajaran kata dan kalimat harus
dihubungkan langsung dengan benda, sampel, atau gambarnya, atau melalui
peragaan, permainan peran, dan lain sebagainya. Dalam metode ini, pembelajar
harus dibiasakan berpikir dalam bahasa target, oleh karena itu penggunaan
bahasa ibu dihindari sama sekali.[2]
B. Pengertian Metode Langsung (Direct
Method)
Direct
artinya langsung. Direct method atau metode
langsung yaitu suatu cara menyajikan materi pelajaran Bahasa Asing di mana guru
langsung menggunakan Bahasa Asing tersebut sebagai bahasa pengantar, dan tanpa
menggunakan bahasa anak didik sedikitpun dalam mengajar. Jika ada suatu
kata-kata yang sulit dimengerti anak didik, guru dapat mengartikan dengan
menggunakan alat peraga, mendemonstrasikan, menggambarkan dan lain-lain.
Metode
ini berpijak dari pemahaman, pengajarkan bahasa asing tidak sama halnya sama
mengajar ilmu pasti atau ilmu alam. Jika mengajar ilmu pasti, siswa dituntut
agar dapat menghafal rumus-rumus tertentu, berfikir dan mengingat, dalam
pengajaran bahasa, siswa atau anak didik dilatih praktik langsung mengucapkan
kata-kata atau kalimat-kalimat tertentu.
Demikianlah
halnya kalau kita perhatikan seorang ibu mengajarkan bahasa kepada anak-anaknya
mula-mula dengan melatih anak-anaknya langsung dengan mengajarinya menuntunnya
mengucapkan kata per-kata, kalimat per-kalimat dan anaknya menurutinya meskipun
dilihat terasa lucu. Misalnya ibunya mengajar “Ayah” maka anaknya menyebut
“Aah” dan seterusnya. Namun kelamaan si anak mengenali kata-kata itu dan akhirnya
ia mengerti pula tentang maksudnya.
Pada
prinsipnya, metode langsung (direct method) ini sangat utama dalam
mengajar bahasa asing, karena melalui metode ini siswa langsung dapat melatih
kemahiran lidah tanpa menggunakan bahasa ibu (bahasa lingkungannya). Meskipun
pada mulanya terlihat sulit anak didik untuk menirukannya, tetapi metode ini
menarik bagi anak didik.
C. Ciri-ciri Metode Langsung
1. Materi pelajaran pertama-tama diberikan
kata demi kata, kemudian struktur kalimat.
2. Gramatika yang diajarkan hanya bersifat
sambil lalu, dan siswa tidak dituntut menghafal rumus-rumus gramatika, tetapi
yang utama adalah siswa mampu mengucapkan bahasa asing secara baik.
3. Dalam proses pengajaran senantiasa
menggunakan alat bantu (alat peraga) baik alat peraga langsung, tidak langsung
(benda tiruan) maupun peragaan melalui simbol-simbol atau gerakan-gerakan
tertentu.
4. Setelah masuk kelas, siswa atau anak
didik benar-benar dikondisikan untuk menerima dan bercakap-cakapdalam bahasa
asing dan dilarang menggunakan bahasa lain.
D. Desain Metode Langsung
1.
Tujuan
(Umum dan Khusus)
Para
guru yang menggunakan metode langsung bertujuan agar para siswa bisa
mempelajari bagaimana caranya berkomunikasi dalam bahasa sasaran. Untuk bisa
melakukan hal tersebut dengan sukses, penting bagi para siswa untuk belajar
berpikir dalam bahasa sasaran.
2.
Model
Silabus
Silabus
yang digunakan dalam metode langsung didasarkan pada berbagai situasi (seperti:
satu unit akan berisi dari ungkapan-ungkapan yang digunakan di bank dan unit
yang lain berisi ungkapan-ungkapan ketika berbelanja) atau berbagai topik
(seperti:geografi, uang, atau cuaca). Tata bahasa diajarkan secara induktif;
yaitu para siswa diperkenalkan dengan contoh-contoh terlebih dahulu lalu mereka
berusaha memahami kaidah-kaidah atau generalisasi kaidah yang berada di balik
contoh-contoh tersebut. Para siswa mempratikkan kosakata dengan menggunakan
kata-kata baru tersebut dalam kalimat-kalimat lengkap. Dengan demikian
pemilihan materi ajar lebih ditekankan pada pengajaran kosakata daripada tata
bahasa.
3.
Jenis
Kegiatan Pembelajaran
Meskipun
perhatian terhadap keempat keterampilan berbahasa (membaca, menulis, berbicara,
dan mendengarkan) terjadi sejak awal, tetapi komunikasi lisan dianggap sebagai
dasar. Dengan demikian, latihan membaca dan menulis didasarkan pada latihan
membaca dan menulis didasarkan pada latihan lisan yang telah dipratikkan
terlebih dahulu oleh siswa. Pelafalan yang benar juga mendapatkan perhatian
sejak awal pelajaran.
Kemampuan
berbahasa yang lebih diutamakan adalah kemampuan berbicara bukan kemampuan
menulis. Oleh karena itu, para siswa belajar berbicara sehari-hari dengan wajar
dalam bahasa sasaran. Mereka juga mempelajari budaya dan sejarah masyarakat
penutur bahasa sasaran. Mereka juga mempelajari budaya dan sejarah masyarakat
penutur bahasa sasaran, geografi negeri atau negara-negara di mana bahasa itu
digunakan sebagai bahasa percakapan, dan informasi tentang kehidupan
sehari-hari para pembicara bahasa sasaran.
Guru-guru
yang menggunakan metode ini berkeyakinan bahwa siswa perlu menghubungkan makna
dan bahasa sasaran secara langsung. Untuk melakukan hal ini, ketika guru
memperkenalkan suatu kata atau frasa baru, ia akan mendemonstrasikan maknanya
melalui pemakaian realita, gambar-gambar, atau pantomim, ia tidak pernah
menerjemahkannya ke dalam bahasa siswa. Bahasa ibu tidak boleh digunakan di
dalam kelas. Para siswa berbicara sebagian besar dalam bahasa sasaran dan
mereka berkomunikasi seolah-olah mereka dalam situasi dan topik yang riil.
4.
Peranan
Guru, Siswa dan Bahan Ajar
Meskipun
guru mengarahkan aktivitas di kelas, peran siswa lebih aktif dibandingkan peran
mereka dalam metode tata bahasa- terjemah. Dalam metode ini, guru dan siswa
seperti mitra dalam pembelajaran, di samping berfungsi sebagai sebagai seorang
mitra, guru juga adalah seorang fasilitator, ia menunjukkan kepada para siswa
apa kesalahan yang mereka lakukan dan bagaimana cara mengoreksi kesalahan
tersebut.
Interaksi
kelas pembelajaran berasal dari kedua belah pihak, dari guru kepada para siswa
dan sebaliknya, dari siswa kepada guru, meskipun inisiasi dari siswa sering
berada dalam pengarahan guru. Para siswa juga berbicara antara yang satu dengan
yang lain.
Evaluasi dalam metode langsung dilakukan
lebih banyak secara informal, para siswa diminta untuk menggunakan bahasa, bukan
untuk menunjukkan pengetahuan mereka sekitar bahasa. Mereka diminta untuk
melakukannya baik dengan keterampilan lisan maupun tulisan. Sebagai contoh,
para siswa bisa jadi diwawancarai secara lisan oleh guru atau boleh jadi
diminta untuk menulis suatu alinia tentang sesuatu yang sudah mereka pelajari. [3]
E. Langkah-langkah Penggunaan Metode
Langsung
Langkah-langkah penyajian dalam
metode ini bisa bervariasi, namun secara umum adalah sebagai berikut:
1. Guru memulai penyajian materi secara
lisan, mengucapkan satu kata dengan menunjuk bendanya atau gambar benda itu,
meragakan sebuah gerakan atau mimik wajah. Pelajar menirukan berkali-kali
sampai benar pelafalannya dan faham maknanya.
2. Latihan berikutnya berupa tanya jawab
dengan kata tanya “ma, hal, ayna” dan sebagainya, sesuai dengan tingkat
kesulitan pelajaran, berkaitan dengan kata-kata yang telah disajikan. Model
interaksi bervariasi, biasanya dimulai dengan klasikal, kemudian kelompokan dan
akhirnya individual, baik guru maupun siswa.
3. Setelah guru yakin bahwa siswa menguasai
materi yang disajikan, baik dalam pelafalan maupun pemahaman makna, siswa
diminta membuka buku teks. Guru memberikan contoh bacaan yang benar kemudian
siswa diminta membaca secara bergantian.
4. Kegiatan berikutnya adalah menjawab
secara lisan pertanyaan atau latihan yang ada dalam buku, dilanjutkan dengan
mengerjakannya secara tertulis.
5. Bacaaan umum yang sesuai dengan
tingkatan siswa diberikan sebagai tambahan, misalnya berupa cerita humur,
cerita yang mengandung hikmah, dan bacaan yang mengandung ungkapan-ungkapan
indah. Karena pendek dan menarik, biasanya siswa menghafanya diluar kepala.
6. Tatabahasa diberikan pada tingkat
tertentu secara induktif.
7. Siswa didirong untuk berani berbicara
tidak perlu takut salah.
F. Contoh Materi
Contoh dibawah ini dikutip dari buku
Durus al-Lughah al-Arabiyah Jilid Satu, oleh Imam Zarkasyi dan Imam Syubani
yang dipakai di Pondok Modern Gontor.
تلك
سبّورة
|
هذه
مسطرة
|
ما
هذه؟
|
تلك
نافذة
|
هذه
طلاّسة
|
ما
هذه؟
|
تلك
منشّة
|
هذه
كرّاسة
|
ما
هذه؟
|
تلك
كرّاسة
|
هذه
كرّاسة
|
ما
هذه؟
|
تلك
ممحاة
|
هذه
ممحاة
|
ما
هذه؟
|
تلك
سبّورة
|
هذه
سبّورة
|
ما هذه؟
|
نعم،
هذه منشّة
|
|
أهذه
منشّة؟
|
نعم،
هذه نافذة
|
|
أهذه نافذة؟
|
Sebagaimana disebutkan dimuka, dalam
metode langsung penggunaan bahasa ibu sangat dihindari. Oleh karena itu, materi
disusun sedemikian rupa sehingga memungkinkan guru melakukan paragaan dan
penunjukan langsung benda asli, gambar atau model (tiruan benda) ketika mengenalkan
mufradat dan struktur kalimat yang baru.
Dalam metode ini, untuk tingkat pemula,
nahwu tidak diajarkan secara khusus, tapi melalui apa yang disebut dengan
al-nahwu al-wazhifi (nahwu fungsional) seperti dalam contoh berikut (dicuplik
dari buku yang sama).
طويل
--------- أطول
كبير
-------- أكبر
قويّ
-------- أقوى
واسع
--------- أوسع
Dalam contoh diatas, materi nahwu
mengenai isim tafdhil tidak dijelaskan definisinya atau cara-cara
pembentukannya, tapi langsung pada contoh-contoh dan dilatihkan pemakaiannya
dalam kalimat. Pada tingkat berikutnya (pra-menengah atau menengah), qawaid
bisa diajarkan berdiri sendiri sebagai sebuah mata pelajaran tapi dengan cara
induktif, yaitu dimulai dengan contoh-contoh penjelasan, kemudian kesimpulan
kaidah, dan diakhiri dengan latihan-latihan. Salah satu buku yang banyak
digunakan adalah al-Nahwu al-Wadhih oleh Ali al-Jarim dan Musthafa Amin
terbitan Dar-al-Ma’arif Kairo.[4]
G. Metode Langsung dilihat dari segi
efektifitasnya memiliki keunggulan dan kekurangan, antara lain:
1. Keunggulannya:
a. Siswa termotivasi untuk dapat
menyebutkan dan mengerti kata-kata kalimat dalam bahasa asing yang diajarkan
oleh gurunya, apalagi guru menggunakan alat peraga dan macam-macam media yang
menyenangkan.
b. Siswa memperoleh pengalaman langsung dan
praktis, sekalipun mula-mula kalimat yang diucapakan itu belum dimengerti dan
dipahami sepenuhnya.
c. Alat ucap (lidah) anak didik menjadi
terlatih jika menerima ucapan-ucapan yang semula sering terdengar dan
terucapkan. [5]
d. Dengan banyaknya peragaan/demonstrasi,
gerakan, penggunaan gambar, bahkan belajar dialam nyata para pelajar bias
mengetahui banyak kosa kata.
e. Para pelajar mendapat banyak latihan
dalam bercakap-cakap, khususnya mengenai topik-topik yang sudah dilatih dalam
kelas. Hal ini dapat membantu mereka dalam menganalogikan pola-pola percakapan
dalam tospik-topik lain.
2. Kekurangannya:
a. Peserta didik lemah dalam kemampuan
membaca karena yang ditekankan adalah ketrampilan berbahasa lisan.
b. Memerlukan guru yang ideal dalam
ketrampilan berbicara dan kelincahan dalam penyajian pelajaran.[6]
c. Metode ini menghindari penggunaan bahasa
ibu dan bahasa kedua atau terjemahan. Hal ini justru bisa menghambat kemajuan
pelajar, sebab banyak waktu dan tenaga terbuang dalam menerangkan kata abstrak
(tak bisa diragakan atau gambarkan) atau konsep tertentu dalam bahasa asing.
Padahal jika diterjemahkan akan memakan waktu sebentar saja.
d. Melihat poin nimor empat diatas,
kesalahan penafsiran makna dalam bahasa asing yang dipelajari bisa terjadi.
Sementara itu kesalahan yang keluar dari guru akan sulit diketahui dibandingkan
dengan kesalahan yang keluar dari pelajar, sebab jika pelajar melakukan
kesalahan dalam pol-pola tertentu maka dapat dideteksi segera.
e. Jika dicermati konsep yang mengatakan
bahwa pemerolehan bahasa ibu dengan bahasa kedua dan bahasa asing itu sama,
maka secara psikologis konsep ini tidak memiliki dasar teori yang kuat. [7]
[1] Acep, Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Bandung:
PT REMAJA ROSDAKARYA, Cet. I, 2011, Hal. 175-176
[2] Ahmad Fuad Effendy, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, Malang:
Misykat, Cet-5, 2012, Hal. 47
[3] Aziz Fachrurrazi & Erta Mahyudin, Pembelajaran Bahasa Asing Metode
Tradisional dan Kontemporer, (Jakarta: Bania Publishing, 2010), hlm. 55-56
[5] Drs. H. Ahmad, Izzan, M.Ag., Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Bandung:
HUMANIORA, Cet. IV, 2011, Hal. 86-87
[6] Ulin, Nuha, Metodologi Super Efektif Pembelajaran Bahasa Arab, Jogjakarta:
DIVA Press, Cet. I, 2012, Hal. 175
[7] Acep, Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Hal. 183