bisnis online

Kamis, 12 Juni 2014

Metode Langsung


A.    Latar Belakang Munculnya Metode Langsung (Direct Method)
Metode langsung (al-thariqah al-mubasyiroh/ direct method) dikembangkan oleh Carles Berlitz, seorang ahli dalam pengajaran bahasa di Jerman menjelang abad ke-19. Faktor kemunculannya dilatar belakangi oleh penolakan atau ketidakpuasan terhadap metode tata bahasa dan terjemah. Pada saat itu memang metode tata bahasa dan terjemah merupakan metode pengajaran bahasa kedua dan asing yang populer. Akan tetapi di tengah kepopulerannya muncul banyak ketidak puasan dibanyak kalangan, sehingga muncullah kritik bahkan penolakan terhadap metode ini. Secara lebih rinci faktor-faktor itu adalah :
a.       Pada saat penduduk eropa semakin bertambah, tingkat komunikasi mereka semakin kompleks. Hal ini mengakibatkan kebutuhan mereka untuk menguasai satu bahasa ( misal, bahasa Inggris) sebagai Lingua Franca secara aktif dan produktif semakin mendesak. Buku-buku sumber yang ditemukan pada waktu itu kurang memuaskan mereka, karena pada umumnya tidak mengajarkan penggunaan bahasa tujuan secara praktis dan efektif, melainkan berbicara tentang bahasa tujuan.
b.      Dibeberapa negara Eropa pada waktu itu, pendekatan-pendekatan baru pada pengajaran bahasa tujuan yang dicetuskan oleh para ahli pengajaran bahasa secara terpisah-pisah memberikan ide kepada guru bahasa tujuan untuk mengangkat metode lain yang dipandang lebih baik untuk mengajarkan bahasa tujuan. Hal ini membuka jalan mereka untuk memunculkan metode langsung.
 Meskipun metode langsung merupakan reaksi kuat terhadap metode tata bahasa dan terjemah, namun orang-orang telah lebih dulu menggunakannya dalam mengajarkan bahasa asing. Nababan (1993:15) menyebutkan bahwa penggunaanya telah berlangsung sekitar abad ke-15 ketika para pemuda Romawi diberi pelajaran bahasa Yunani oleh guru-guru bahasa dari Yunani. Namun penggunaan metode langsung pada waktu itu tidak benar-benar sebagai metode langsung, “kelangsungannya” dapat dikatakan tidak murni seratus persen, sebab dalam beberapa hal masih menggunakan bahasa ibu dan kedua. Baru mulai tahun 1920-an, beberapa ahli pengajaran yang secara terpisah menggunakan metode langsung secara murni dan sistematis.[1]
Metode ini dikembangkan atas dasar asumsi bahwa proses belajar bahasa kedua atau bahasa asing sama dengan belajar bahasa ibu. Juga didasarkan atas asumsi yang bersumber dari hasil-hasil kajian psikologi asosiatif. Berdasarkan kedua asumsi tersebut, pengajaran bahasa khususnya pengajaran kata dan kalimat harus dihubungkan langsung dengan benda, sampel, atau gambarnya, atau melalui peragaan, permainan peran, dan lain sebagainya. Dalam metode ini, pembelajar harus dibiasakan berpikir dalam bahasa target, oleh karena itu penggunaan bahasa ibu dihindari sama sekali.[2]

B.     Pengertian Metode Langsung (Direct Method)
Direct artinya langsung. Direct method atau metode langsung yaitu suatu cara menyajikan materi pelajaran Bahasa Asing di mana guru langsung menggunakan Bahasa Asing tersebut sebagai bahasa pengantar, dan tanpa menggunakan bahasa anak didik sedikitpun dalam mengajar. Jika ada suatu kata-kata yang sulit dimengerti anak didik, guru dapat mengartikan dengan menggunakan alat peraga, mendemonstrasikan, menggambarkan dan lain-lain.
Metode ini berpijak dari pemahaman, pengajarkan bahasa asing tidak sama halnya sama mengajar ilmu pasti atau ilmu alam. Jika mengajar ilmu pasti, siswa dituntut agar dapat menghafal rumus-rumus tertentu, berfikir dan mengingat, dalam pengajaran bahasa, siswa atau anak didik dilatih praktik langsung mengucapkan kata-kata atau kalimat-kalimat tertentu.
Demikianlah halnya kalau kita perhatikan seorang ibu mengajarkan bahasa kepada anak-anaknya mula-mula dengan melatih anak-anaknya langsung dengan mengajarinya menuntunnya mengucapkan kata per-kata, kalimat per-kalimat dan anaknya menurutinya meskipun dilihat terasa lucu. Misalnya ibunya mengajar “Ayah” maka anaknya menyebut “Aah” dan seterusnya. Namun kelamaan si anak mengenali kata-kata itu dan akhirnya ia mengerti pula tentang maksudnya.
Pada prinsipnya, metode langsung (direct method) ini sangat utama dalam mengajar bahasa asing, karena melalui metode ini siswa langsung dapat melatih kemahiran lidah tanpa menggunakan bahasa ibu (bahasa lingkungannya). Meskipun pada mulanya terlihat sulit anak didik untuk menirukannya, tetapi metode ini menarik bagi anak didik.

C.    Ciri-ciri Metode Langsung
1.      Materi pelajaran pertama-tama diberikan kata demi kata, kemudian struktur kalimat.
2.      Gramatika yang diajarkan hanya bersifat sambil lalu, dan siswa tidak dituntut menghafal rumus-rumus gramatika, tetapi yang utama adalah siswa mampu mengucapkan bahasa asing secara baik.
3.      Dalam proses pengajaran senantiasa menggunakan alat bantu (alat peraga) baik alat peraga langsung, tidak langsung (benda tiruan) maupun peragaan melalui simbol-simbol atau gerakan-gerakan tertentu.
4.      Setelah masuk kelas, siswa atau anak didik benar-benar dikondisikan untuk menerima dan bercakap-cakapdalam bahasa asing dan dilarang menggunakan bahasa lain.

D.    Desain Metode Langsung
1.      Tujuan (Umum dan Khusus)
Para guru yang menggunakan metode langsung bertujuan agar para siswa bisa mempelajari bagaimana caranya berkomunikasi dalam bahasa sasaran. Untuk bisa melakukan hal tersebut dengan sukses, penting bagi para siswa untuk belajar berpikir dalam bahasa sasaran.
2.      Model Silabus
Silabus yang digunakan dalam metode langsung didasarkan pada berbagai situasi (seperti: satu unit akan berisi dari ungkapan-ungkapan yang digunakan di bank dan unit yang lain berisi ungkapan-ungkapan ketika berbelanja) atau berbagai topik (seperti:geografi, uang, atau cuaca). Tata bahasa diajarkan secara induktif; yaitu para siswa diperkenalkan dengan contoh-contoh terlebih dahulu lalu mereka berusaha memahami kaidah-kaidah atau generalisasi kaidah yang berada di balik contoh-contoh tersebut. Para siswa mempratikkan kosakata dengan menggunakan kata-kata baru tersebut dalam kalimat-kalimat lengkap. Dengan demikian pemilihan materi ajar lebih ditekankan pada pengajaran kosakata daripada tata bahasa.
3.      Jenis Kegiatan Pembelajaran
Meskipun perhatian terhadap keempat keterampilan berbahasa (membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan) terjadi sejak awal, tetapi komunikasi lisan dianggap sebagai dasar. Dengan demikian, latihan membaca dan menulis didasarkan pada latihan membaca dan menulis didasarkan pada latihan lisan yang telah dipratikkan terlebih dahulu oleh siswa. Pelafalan yang benar juga mendapatkan perhatian sejak awal pelajaran.
Kemampuan berbahasa yang lebih diutamakan adalah kemampuan berbicara bukan kemampuan menulis. Oleh karena itu, para siswa belajar berbicara sehari-hari dengan wajar dalam bahasa sasaran. Mereka juga mempelajari budaya dan sejarah masyarakat penutur bahasa sasaran. Mereka juga mempelajari budaya dan sejarah masyarakat penutur bahasa sasaran, geografi negeri atau negara-negara di mana bahasa itu digunakan sebagai bahasa percakapan, dan informasi tentang kehidupan sehari-hari para pembicara bahasa sasaran.
Guru-guru yang menggunakan metode ini berkeyakinan bahwa siswa perlu menghubungkan makna dan bahasa sasaran secara langsung. Untuk melakukan hal ini, ketika guru memperkenalkan suatu kata atau frasa baru, ia akan mendemonstrasikan maknanya melalui pemakaian realita, gambar-gambar, atau pantomim, ia tidak pernah menerjemahkannya ke dalam bahasa siswa. Bahasa ibu tidak boleh digunakan di dalam kelas. Para siswa berbicara sebagian besar dalam bahasa sasaran dan mereka berkomunikasi seolah-olah mereka dalam situasi dan topik yang riil.
4.      Peranan Guru, Siswa dan Bahan Ajar
Meskipun guru mengarahkan aktivitas di kelas, peran siswa lebih aktif dibandingkan peran mereka dalam metode tata bahasa- terjemah. Dalam metode ini, guru dan siswa seperti mitra dalam pembelajaran, di samping berfungsi sebagai sebagai seorang mitra, guru juga adalah seorang fasilitator, ia menunjukkan kepada para siswa apa kesalahan yang mereka lakukan dan bagaimana cara mengoreksi kesalahan tersebut.
Interaksi kelas pembelajaran berasal dari kedua belah pihak, dari guru kepada para siswa dan sebaliknya, dari siswa kepada guru, meskipun inisiasi dari siswa sering berada dalam pengarahan guru. Para siswa juga berbicara antara yang satu dengan yang lain.
Evaluasi dalam metode langsung dilakukan lebih banyak secara informal, para siswa diminta untuk menggunakan bahasa, bukan untuk menunjukkan pengetahuan mereka sekitar bahasa. Mereka diminta untuk melakukannya baik dengan keterampilan lisan maupun tulisan. Sebagai contoh, para siswa bisa jadi diwawancarai secara lisan oleh guru atau boleh jadi diminta untuk menulis suatu alinia tentang sesuatu yang sudah mereka pelajari. [3]

E.     Langkah-langkah Penggunaan Metode Langsung
Langkah-langkah penyajian dalam metode ini bisa bervariasi, namun secara umum adalah sebagai berikut:
1.      Guru memulai penyajian materi secara lisan, mengucapkan satu kata dengan menunjuk bendanya atau gambar benda itu, meragakan sebuah gerakan atau mimik wajah. Pelajar menirukan berkali-kali sampai benar pelafalannya dan faham maknanya.
2.      Latihan berikutnya berupa tanya jawab dengan kata tanya “ma, hal, ayna” dan sebagainya, sesuai dengan tingkat kesulitan pelajaran, berkaitan dengan kata-kata yang telah disajikan. Model interaksi bervariasi, biasanya dimulai dengan klasikal, kemudian kelompokan dan akhirnya individual, baik guru maupun siswa.
3.      Setelah guru yakin bahwa siswa menguasai materi yang disajikan, baik dalam pelafalan maupun pemahaman makna, siswa diminta membuka buku teks. Guru memberikan contoh bacaan yang benar kemudian siswa diminta membaca secara bergantian.
4.      Kegiatan berikutnya adalah menjawab secara lisan pertanyaan atau latihan yang ada dalam buku, dilanjutkan dengan mengerjakannya secara tertulis.
5.      Bacaaan umum yang sesuai dengan tingkatan siswa diberikan sebagai tambahan, misalnya berupa cerita humur, cerita yang mengandung hikmah, dan bacaan yang mengandung ungkapan-ungkapan indah. Karena pendek dan menarik, biasanya siswa menghafanya diluar kepala.
6.      Tatabahasa diberikan pada tingkat tertentu secara induktif.
7.      Siswa didirong untuk berani berbicara tidak perlu takut salah.

F.     Contoh Materi
Contoh dibawah ini dikutip dari buku Durus al-Lughah al-Arabiyah Jilid Satu, oleh Imam Zarkasyi dan Imam Syubani yang dipakai di Pondok Modern Gontor.
تلك سبّورة
هذه مسطرة
ما هذه؟
تلك نافذة
هذه طلاّسة
ما هذه؟
تلك منشّة
هذه كرّاسة
ما هذه؟
تلك كرّاسة
هذه كرّاسة
ما هذه؟
تلك ممحاة
هذه ممحاة
ما هذه؟
تلك سبّورة
هذه سبّورة
ما هذه؟ 
نعم، هذه منشّة

أهذه منشّة؟
نعم، هذه نافذة

أهذه نافذة؟

Sebagaimana disebutkan dimuka, dalam metode langsung penggunaan bahasa ibu sangat dihindari. Oleh karena itu, materi disusun sedemikian rupa sehingga memungkinkan guru melakukan paragaan dan penunjukan langsung benda asli, gambar atau model (tiruan benda) ketika mengenalkan mufradat dan struktur kalimat yang baru.
Dalam metode ini, untuk tingkat pemula, nahwu tidak diajarkan secara khusus, tapi melalui apa yang disebut dengan al-nahwu al-wazhifi (nahwu fungsional) seperti dalam contoh berikut (dicuplik dari buku yang sama).
طويل --------- أطول
         
كبير -------- أكبر
قويّ -------- أقوى
         
واسع --------- أوسع
          
Dalam contoh diatas, materi nahwu mengenai isim tafdhil tidak dijelaskan definisinya atau cara-cara pembentukannya, tapi langsung pada contoh-contoh dan dilatihkan pemakaiannya dalam kalimat. Pada tingkat berikutnya (pra-menengah atau menengah), qawaid bisa diajarkan berdiri sendiri sebagai sebuah mata pelajaran tapi dengan cara induktif, yaitu dimulai dengan contoh-contoh penjelasan, kemudian kesimpulan kaidah, dan diakhiri dengan latihan-latihan. Salah satu buku yang banyak digunakan adalah al-Nahwu al-Wadhih oleh Ali al-Jarim dan Musthafa Amin terbitan Dar-al-Ma’arif Kairo.[4]

G.    Metode Langsung dilihat dari segi efektifitasnya memiliki keunggulan dan kekurangan, antara lain:
1.      Keunggulannya:
a.       Siswa termotivasi untuk dapat menyebutkan dan mengerti kata-kata kalimat dalam bahasa asing yang diajarkan oleh gurunya, apalagi guru menggunakan alat peraga dan macam-macam media yang menyenangkan.
b.      Siswa memperoleh pengalaman langsung dan praktis, sekalipun mula-mula kalimat yang diucapakan itu belum dimengerti dan dipahami sepenuhnya.
c.       Alat ucap (lidah) anak didik menjadi terlatih jika menerima ucapan-ucapan yang semula sering terdengar dan terucapkan. [5]
d.      Dengan banyaknya peragaan/demonstrasi, gerakan, penggunaan gambar, bahkan belajar dialam nyata para pelajar bias mengetahui banyak kosa kata.
e.       Para pelajar mendapat banyak latihan dalam bercakap-cakap, khususnya mengenai topik-topik yang sudah dilatih dalam kelas. Hal ini dapat membantu mereka dalam menganalogikan pola-pola percakapan dalam tospik-topik lain.
2.      Kekurangannya:
a.       Peserta didik lemah dalam kemampuan membaca karena yang ditekankan adalah ketrampilan berbahasa lisan.
b.      Memerlukan guru yang ideal dalam ketrampilan berbicara dan kelincahan dalam penyajian pelajaran.[6]
c.       Metode ini menghindari penggunaan bahasa ibu dan bahasa kedua atau terjemahan. Hal ini justru bisa menghambat kemajuan pelajar, sebab banyak waktu dan tenaga terbuang dalam menerangkan kata abstrak (tak bisa diragakan atau gambarkan) atau konsep tertentu dalam bahasa asing. Padahal jika diterjemahkan akan memakan waktu sebentar saja.
d.      Melihat poin nimor empat diatas, kesalahan penafsiran makna dalam bahasa asing yang dipelajari bisa terjadi. Sementara itu kesalahan yang keluar dari guru akan sulit diketahui dibandingkan dengan kesalahan yang keluar dari pelajar, sebab jika pelajar melakukan kesalahan dalam pol-pola tertentu maka dapat dideteksi segera.
e.       Jika dicermati konsep yang mengatakan bahwa pemerolehan bahasa ibu dengan bahasa kedua dan bahasa asing itu sama, maka secara psikologis konsep ini tidak memiliki dasar teori yang kuat. [7]


[1] Acep, Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, Cet. I, 2011, Hal. 175-176
[2] Ahmad Fuad Effendy, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, Malang: Misykat, Cet-5, 2012, Hal. 47
[3] Aziz Fachrurrazi & Erta Mahyudin, Pembelajaran Bahasa Asing Metode Tradisional dan Kontemporer, (Jakarta: Bania Publishing, 2010), hlm. 55-56
[4] Ahmad Fuad Effendy, Metodologi, Hal. 49.
[5] Drs. H. Ahmad, Izzan, M.Ag., Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Bandung: HUMANIORA, Cet. IV, 2011, Hal. 86-87
[6] Ulin, Nuha, Metodologi Super Efektif Pembelajaran Bahasa Arab, Jogjakarta: DIVA Press, Cet. I, 2012, Hal. 175
[7] Acep, Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, Hal. 183

Orientasi Pengembangan Kurikulum


A.    Pengertian Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikukulum adalah proses perencanaan kurikulum agar menghasilkan rencana kurikulum yang luas dan spesifik. Proses ini berhubungan dengan seleksi dan pengorganisasian berbagai  komponen situasi belajar –mengajar, antara lain penetapan jadwal pengorganisasian kurikulum dan spesifikasi  tujuan yang disarankan, mata pelajaran, kegiatan, sumber dan alat pengukur  pengembangan kurikulum yang mengacu pada kreasi sumber-sumber unit, rencana unit, dan garis pelajaran kurikulim ganda lainnya, untuk memudahkan proses  belajar mengajar.[1]
Berikut ini adalah  karakteristik dalam pengembangan kurikulum:
a.       Rencana kurikukum harus dikembangkan dengan tujuan (goals dan general objectives ) yang jelas. Salah satu maksud utama rencana kuikulum adalah mengindentifikasikan cara untuk tercapainya tujuan.
b.      Suatu program atau kegiatan yang dilaksanakan disekolah merupakan bagian dari kurikulum yang dirancang selaras dengan prosedur pengembangan kurikulum.
c.       Rencana kurikulum yang baik dapat menghasilkan terjadinya proses belajar yang baik, karena berdasarkan kebutuhan dan minat siswa.
d.      Rencana kurikulum harus mengenalkan dan mendorong diversitas diantara para pelajar. Proses belajar akan menyenangkan jika rencana kurikulum menyediakan berbagai kesempatan yang memungkinkan mereka mengembangkan potensi pribadi, melakukan berbagai kegiatan , dan memanfaatkan berbagai sumber disekolah.
e.       Rencana kurikulum harus menyiapkan semua aspek situasi belajar mengajar, seperti tujuan , konten, aktifitas, sumber, alat pengukuran, penjadwalan, dan fasilitas yang menunjang.
f.       Rencana kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan karakteristik siswa pengguna . oleh karena itu, pengembangan kurikulum harus mengandung gagasan yang jelas tentang tahapan kognitif, kebutuhan perkembangan, gaya belajar, prestasi awal, konsep diri sebagai pelajar, dan lain-lain.
g.      The subject arm approach adalah pendekatan kurikulum yang banyak digunakan disekolah. Penggunaan pendekatan lain pada semua program sekolah juga diperlukan, untuk menjaga keseimbangan dan memenuhi tujuan pendidikan yang luas serta dipersitas kebutuhan dikalangan siswa.
h.      Rencana kurikulum harus memberikan fleksibilitas untuk memungkinkan terjadinya perencanaan guru-siswa memberi kesempatan bagi siswa untuk mempelajari keterampilan perencanaan.
i.        Rencana kurikulum harus memberikan fleksibilitas yang memungkinkan masuknya ide-ide spontan selama terjadinya interaksi antara guru dan siswa dalam situasi  belajar yang khusus.
j.        Rencana kurikulum sebaiknnya merefleksikan  keseimbangan antara kognitif, afektif dan psikomotorik.[2]

B.     Sejarah Perjalanan Orientasi Kurikulum di Indonesia
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dua tahun sebelum pendidikan di Indonesia di katakan berjalan walaupun masih apa adanya. Pendidikan tidak akan lepas dari prosesi pembelajaran yang harus dilalui dalam setiap jenjang pendidikan, atau yang biasa disebut dengan kurikulum pendidikan. Begitu pula pada awal berdirinya pendidikan di Indonesia, kurikulumnya pun masih bias dikatakan belum rapi.Dari waktu kewaktu kurikulum pendidikan di Indonesia selalu berusaha untuk disempurnakan, namun hingga saat ini pendidikan di Indonesia belum mendapatkan formulasi kurikulum yang tepat dan pas.
Alangkah baiknya kita melihat dulu perjalanan kurikulum pendidikan di Indonesia sebelum mempunyai anggapan mengapa kegagalan selalu menghinggapi pendidikan di Indonesia.[3]

1.      Rencana Pembelajaran Tahun 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris).Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran.
Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.

2.      Rencana Pembelajaran Terurai Tahun 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.
Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.

3.      Rencana Pendidikan Tahun 1964
Awalnya pada tahun 1947, kurikulum saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang,. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism. Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan, diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan dan jasmani.

4.      Kurikulum 1968
Kelahiran kurikulum ini bernuansa politik, mengganti produk orde lama menjadi produk orde baru. Tujuan kurikulum ini adalah pada pembentukan manusia pancasila sejati. Kurikulum 1968 ini menekankan pendekatan organisaasi materi pelajaran, kelompok pembinaan pancasila, pengetahuan dasar dan pengetahuan khusus. Jumlah materi yang diajukan adalah 9 buah.
Kurikulum ini disebut kurikulum bulat. Kurikulum yang hanya memuat mata pelajaran pokok saja. Muatan pelajarannya-pun bersifat teoritis, tidak mengaitkan materi pelajaran dengan permasalahan factual dilapangan. Titik tekan terberat hanya pada materi apa yang tepat yang harus diberikan kepada siswa disetiap jenjang yang harus dilalui.

5.      Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968, menekankan pada tujuan agar pendidikan lebih efektif dan efisien. Yang melatar belakangi berdirinya kurikulum ini adalah pengaruh konsep managemen, yaitu managemen obyektifitas. Metode, materi dan tujuan pengajaran dirinci dalam prosedur Pengembangan Prosedur Sistem Intruksional(PPSI).
Pada kurikulum ini dikenal dengan istilah satuan pengajaran, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi, yaitu : petunjuk umum, Tujuan Intruksional Khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar dan evaluasi.
Kurikulum ini banyak menuai kritikan, dikarenakan guru terlalu disibukkan menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.

6.      Kurikulum 1984
Menjelang tahun 1983 antara kebutuhan atau tuntutan masyarakat dan ilmu pengetahuan/teknologi terhadap pendidikan dalam kurikulum 1975 dianggap tidak sesuai lagi. Oleh karena itu diperlukan perubahan kurikulum. Kurikulum 1984 tampil sebagai perbaikan atau revisi terhadap kurikulum 1975. Kurikulum 1984 memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa dan melakukan pendekatan ketrampilan proses.
b.      Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA). CBSA merupakan salah satu cara pendekatan belajar-mengajar yang menuntut keaktifan dan partisipasi aktif baik fisik, intelektual dan emosional peserta didik seoptimal mungkin dapat mengubah perilakunya secara lebih efektif dan efisien.[4]
c.       Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Konsep-konsep yang dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian diberikan latihan setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian alat peraga sebagai media digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya.
d.      Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa. Pemberian materi pelajaran berdasarkan tingkat kematangan mental siswa dan penyajian pada jenjang sekolah dasar harus melalui pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak dengan menggunakan pendekatan induktif dari contoh-contoh ke kesimpulan. Dari yang mudah menuju ke sukar dan dari sederhana menuju ke kompleks.

Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Seniawan, Kepala Pusat kurikulum Dekdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta, sekarang Universitas Negeri Jakarta periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilny di sekolah-ssekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Dengan adanya praktik semacam itu, mengakibatkan banyaknya penolakan yang bermunculan.[5]

7.      Kurikulum 1994 dan suplemen kurikulum 1999
Pada kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum 1984, proses pembelajaran menekankan pada pola pengajaran yang berorientasi pada teori belajar mengajar dengan kurang memperhatikan muatan (isi) pelajaran. Hal ini terjadi karena berkesesuaian suasana pendidikan di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) pun lebih mengutamakan teori tentang proses belajar mengajar. Akibatnya, pada saat itu dibentuklah Tim Basic Science yang salah satu tugasnya ikut mengembangkan kurikulum di sekolah. Tim ini memandang bahwa materi (isi) pelajaran harus diberikan cukup banyak kepada siswa, sehingga siswa selesai mengikuti pelajaran pada periode tertentu akan mendapatkan materi pelajaran yang cukup banyak.
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak.
Usaha pemerintah maupun pihak swasta dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan terutama meningkatkan hasil belajar siswa dalam berbagai mata pelajaran terus menerus di lakukan seperti penyempurnaan kurikulum, materi pelajatan dan proses pembelajaran. Dengan di laksanakannya UU NO.22 dan 25 tahun 1999 tentang otonmomi daerah, sehingga sebagai konsekuensi logis harus terjadi juga perubahan struktural dalam penyelenggaraan pendidikan, maka bersamaan dengan hal tersebut terjadilal perubahan lagi pada kurikulum pendidikan.[6]

8.      Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
Implementasi pendidikan di sekolah mengacu pada seperangkat kurikulum. Salah satu bentuk inovasi yang dikembangkan pemerintah guna meningkatkan mutu pendidikan adalah melakukan inovasi di bidang kurikulum. Kurikulum 1994 disempurnakan lagi sebagai respon terhadap perubahan struktural dalam pemerintahan dari sentralistik menjadi disentralistik sebagai konsekuensi logis dilaksanakannya UU No. 22 dan 25 tentang otonomi daerah.
Pada era ini kurikulum yang dikembangkan diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KBK adalah seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah (Depdiknas, 2002). Kurikulum ini menitik beratkan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performasi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap serangkat kompetensi tertentu. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat peserta didik, agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan dan keberhasilan dengan penuh tanggungjawab.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau kurikulum 2014 adalah kurikulum dalam dunia pendidikan di Indonesia yang mulai diterapkan sejak tahun 2014 walau sudah ada sekolah yang mulai mengguanakan kurikulum ini sejak sebelum diterapkannya. Sebenarnya kurikulum ini tak berbeda dari kurikulum 1994, perbedaannya hanya pada cara para murid belajar di kelas.[7]

9.      Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
Kurikulum ini dikatakan sebagai perbaikan dari KBK yang diberi nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP ini merupakan bentuk implementasi dari UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan.[8]
Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu:
a.       Standar isi
b.      Standar proses
c.       Standar kompetensi lulusan
d.      Standar pendidik dan tenaga kependidikan
e.       Standar sarana dan prasarana
f.       Standar pengelolaan, standar pembiayaan
g.      Standar penilaian pendidikan

Secara substansial, pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter), yaitu:
a.       Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
b.      Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
c.       Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
d.      Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.[9]

10.  Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 atau Pendidikan Berbasis Karakter adalah kurikulum baru yang dicetuskan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum 2013 merupakan sebuah kurikulum yang mengutamakan pemahaman, skill, dan pendidikan berkarakter, siswa dituntut untuk paham atas materi, aktif dalam berdiskusi dan presentasi serta memiliki sopan santun disiplin yang tinggi.
Kurikulum ini menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang diterapkan sejak 2006 lalu. Dalam Kurikulum 2013 mata pelajaran wajib diikuti oleh seluruh peserta didik di satu satuan pendidikan pada setiap satuan atau jenjang pendidikan. Mata pelajaran pilihan yang diikuti oleh peserta didik dipilih sesuai dengan pilihan mereka.Kedua kelompok mata pelajaran tersebut (wajib dan pilihan) terutama dikembangkan dalam struktur kurikulum pendidikan menengah (SMA dan SMK) sementara itu mengingat usia dan perkembangan psikologis peserta didik usia 7 – 15 tahun maka mata pelajaran pilihan belum diberikan untuk peserta didik SD dan SMP.[10]

C.    Orientasi Pengembangan Kurikulum Di Indonesia
 Orientasi Pengembangan kurikulum menurut Seller menyangkut enam aspek, yaitu:
1.     Tujuan pendidikan menyangkut arah kegiatan pendidikan. Artinya , hendak dibawa ke mana siswa yang kita didik itu.
2.     Pandangan tentang anak. Apakah anan dianggap sebagai organisme yang aktif atau pasif.
3.     Pandangan tentang proses pembelajaran. Apakah proses pembelajaran itu dianggap sebagai proses transformasi ilmu pengetahuan atau mengubah prilaku.
4.     Pandangan tentang lingkungan. Apakah lingkungan belajar harus dikelola secara formal, atau secara bebas yang dapat memungkinkan anak bebas belajar.
5.     Konsepsi tentang peran guru . Apakah guru harus berperan sebagai instruktur yang bersifat otoriter, atau guru dianggap sebagai fasilitator yang siap memberi bimbingan dan bantuan pada anak untuk belajar.
6.     Evaluasi belajar. Apakah mengukur keberhasilan ditentukan dengan tes atau nontes.[11]

Orientasi pengembangan kurikulum diartikan sebagai sebuah arah atau pendekatan yang memiliki penekanan tertentu pada suatu hal dalam mengembangkan kurikulum baik bagi para pengembang kurikulum maupun para pelaksana di sekolah.[12]

1.      Orientasi pada bahan pengajaran
Orientasi pada bahan pelajaran yakni masalah bahan pelajaran sangat di tekankan dan dijadikan pangkal kerja. Secara umum dapat dikatakan bahwa pendekatan ini mengajarkan materi pelajaran dahulu dan setelah itu menjabarkannya ke dalam pokok-pokok dan sub-sub pokok bahasan yang nantinya akan diajarkan kepada siswa.
Pertimbangan-pertimbangan dalam menentukan bahan-bahan pelajaran didasarkan pada:
a.    Penting atau tidaknya bahan pelajaran tersebut untuk diajarkan di sekolah tertentu.
b.   Manfaat dari bahan tersebut.
c.    Kerelevansianya dengan kebutuhan anak setelah nantinya terjun ke masyarakat.

Pengembangan kurikulum yang berorientasi pada bahan pelajaran yang dipentingkan adalah apa materi atau bahan yang disajikan, bukan pada apa tujuannya, sebab tujuan dapat ditentukan setelah jelas bahan pelajaranya.

Kelebihannya:
Adanya kebebasan dan keluwesan dalam memilih dan menentukan bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkan sebab tidak ada tujuan-tujuan yang membuatnya terikat.

Kelemahannya:
Bahan pelajaran yang disusun kurang jelas arah dan tujuannya. Kurang adanya pegangan yang pasti untuk menentukan cara atau metode yang cocok untuk dipakai menyajikan materi tersebut. Kurang jelas segi apa yang harus dinilai pada murid setelah berakhirnya kegiatan dan bagaimana cara menilainya.

2.      Orientasi pada tujuan
Pendekatan yang berorientasi pada tujuan ini, menempati rumusan atau penetapan tujuan yang hendak dicapai dalam posisi sentral, sebab tujuan adalah pemberi arah dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Seperti tertera pada Hirarki Tujuan Pendidikan Indonesia terdiri atas:
a.       Tujuan Nasional-Tujuan Pendidikan Nasional.
b.      Tujuan Institusional-Tujuan Kurikuler.
c.       Tujuan Instruksional, yang terbagi lagi menjadi Tujuan Instruksional umum, dan Tujuan Instruksional Khusus.

Masing-masing tujuan yang ada di bawahnya terkait secara langsung dengan tujuan yang ada di atasnya. Penyusunan kurikulum dengan orientasi berdasarkan tujuan, artinya bahwa tujuan pendidikan dicantumkan terlebih dahulu. Tujuan pendidikan di Indonesia tertera pada GBHN. Atas dasar tujuan-tujuan yang telah ada, selanjutnya ditetapkan pokok-pokok bahan pelajaran dan kegiatan belajar mengajar, yang kesemuanya itu diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Pengembangan kurikulum yang menganut pendekatan berorientasi pada tujuan ini mendasarkan diri pada tujuan-tujuan pendidikan yang telah dirumuskan secara jelas dari tujuan nasional sampai tujuan instruksional. Dalam hal ini kegiatan pertama adalah merumuskan tujuan-tujuan pendidikan yang akan dilaksanakan dan dicapai melalui kegiatan belajar mengajar mengajar.
Dalam pengembangan semacam ini yang menjadi persoalan adalah menentukan tujuan-tujuan atau harapan apa yang diinginkan dari tercapainya hasil pembelajaran tersebut. Pengembangan kurikulum yang semacam ini di Indonesia adalah kurikulum 1975. Berdasarkan tujuan yang dirumuskan tersebut maka disusun atau diterapkanlah bahan pelajaran yang meliputi pokok-pokok dan sub-sub pokok bahasan sehingga lebih terarah.

Kelebihannya:
a.       Tujuan yang ingin dicapai sudah jelas dan tegas, sehingga bahan, metode, jenis-jenis kegiatan juga jelas dalam menetapkannya. Karena telah ada tujuan-tujuan yang jelas maka memudahkan penilaian- penilaian untuk mengukur hasil kegiatan.
b.      Hasil penilaian yang terarah akan mampu membantu para pengembang kurikulum mengadakan perbaikan - perbaikan / perubahan - perubahan penyesuaian yang diperlukan.



Kekurangannya:
a.       Sulit
b.      Merumuskan, apalagi jika merumuskan secara operasional setiap kali melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
3.      Orientasi pada keterampilan proses
Dalam pendekatan ini yang lebih di tekankan adalah masalah kegiatan proses belajar mengajar apa yang harus dilakukan siswa dan bagaimana cara melakukan proses harus di pikirkan dan dikembangkan. Keterampilan proses adalah pendekatan belajar mengajar yang memberi tekanan kepada proses pembentukkan keterampilan memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan perolehannya. Pendekatan keterampilan proses diupayakan dilakukan secara efektif dan efesien dalam mencapai tujuan pelajaran. Titik berat yakni memikirkan, merencanakan, dan melaksanakan bagaimana, cara dan langkah-langkah agar siswa menguasai keterampilan serta memahami ilmu pengetahuan.
Pengembangan kurikulum di Indonesia yang menganut orientasi tersebut adalah kurikulum 1984. Pendekatan ini menurut keaktifan keduanya, baik guru maupun siswa. guru secara aktif merencanakan, memilih, menentukan, membimbing, menyerahi kegiatan, sedang siswa harus terlibat baik secara fisik, mental, maupun emosional, serta mereka harus menemukan sendiri, mengelola, mempergunakan serta mengkomunikasikan segala hal yang di temukan dalam proses belajar.

Kelebihan:
a.       Pendekatan lebih mengutamakan siswa dapat menguasai keterampilan “ bagaimana cara belajar” ( how learn to learn) daripada hasilnya.
b.      Dapat mempergunakan dan mengembangkan sendiri keterampilan yang telah didapat. Jadi dengan pendekatan ini diharapkan siswa akan berlatih mencari, menemukan, dan mengembangkan sendiri masalah-masalah pengetahuan, dalam hal ini guru harus menciptakan suasana yang baik dan diperlukan kemampuan untuk bertanya, membuat siswa aktif menjawab pertanyaan siswa serta mengorganisasi kelas.

Kekurangan:
Sulitnya mengorganisasi kelas, sebab dalam hal ini guru dituntut aktif secara dapat membuat siswa ikut aktif.


[1]Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 183-184
[2]Ibid, h. 184-185
 (diakses pada 26 April 2014)
[4]Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1996), h. 113
[7]Muhammad Rohman, Kurikulum Berkarakter, (Jakarata : Prestasi Pustaka, 2012), h. 75
[8]Ibid., h. 103
[12]Op. Cit.