BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kemungkinan Pendidikan
Manusia disatu pihak telah mempunyai
pembawaan sejak lahir dan berada dalam lingkungan tertentu dipihak lain, dalam
proses perkembangan hidup berikutnya. Ki Hajar Dewantoro menyebut pembawaan
sebagai dasar dan lingkungan sebagai ajar atau dalam bahasa Inggrisnya
pembawaan dinamakan nature dan lingkungan disebut nurture.
Kedua masalah ini merupakan suatu
masalah yang telah lama diperbincangkan oleh para ahli pendidikan. Persoalannya
berkisar apakah perkembangan manusia ditentukan oleh pembawaannya, atau
ditentukan oleh lingkungannya dan ataukah dipengaruhi oleh factor pembawaan dan
lingkungannya.[1]
Diakui bahwa pada manusia ada
hal-hal tertentu yang didapatkan secara alami, dan hal itu tidak dapat
ditawar-tawar lagi. Misalnya tentang bakat dan jenis kelamin. Orang dilahirkan
dengan bakat bawaan tertentu. Hal ini diluar kemampuannya. Dan memang untuk
hal-hal orang tidak dapat diminta pertanggung jawaban. Pendidik tidak
dapat berbuat apa-apa dengan bakat itu, dalam arti pendidik harus menolak bakat
tersebut, atau sebaliknya biarkan anak berkembang secara alamiah tanpa camur
tangan pendidik.[2]
Dalam menyelesaikan persoalan ini
timbul teori-teori pendidikan sebagai berikut :
1.
Teori Nativisme
Secara kata, perkataan nativisme berasal dari kata natives, artinya
pembawaan. Aliran ini mengatakan manusia telah membawa potensi-potensi dasar
yang dibawa sejak dilahirkan yang sangat menentukan perkembangan manusia.
Menurut teori nativisme, anak yang baru lahir telah memiliki bakat,
potensi dan sifat-sifat tertentu yang sangat menentukan terhadap perkembangan
dan pertumbuhan anak tersebut. Pendidikan lingkungan tidak berpengaruh apa apa
terhadap perkembangan anak tersebut.[3]
Potensi dasar manusia yang dibawa sejak lahir tersebut bersifat
kodrat atau alamiah. Karena itu aliran ini disebut juga aliran Naturalisme.
Aliran ini dipelopori oleh jean jaques rousseau (1712- 1778) kebangsaan Swiss.
Dia berpendapat bahwa pendidikan itu tidak ada hasilnya bahkan usaha- usaha
pendidikan yang dikerjakan oleh manusia itu justru dapat merusak perkembangan
anak secara wajar atau alamiah.[4]
Pembawaan yang ada pada anak adalah baik semua. Adapun anak menjadi
jelek karena pengaruh yang diterima dari luar dirinya. Pendidik hanya wajib
membiarkan anak didik, terserah selanjutnya pada alam. Karena sikapnya yang
menentang terhadap segala pengaruh dari luar, terutama pengaruh pendidikan maka
aliran ini dinamakan Negativisme. Demikian pula aliran Pesimisme, sebab pendidikan dianggapnya tidak dapat
member pengaruh terhadapa manusia. Manusia sebenarnya hanyalah merupakan
peroses alam yang berjalan menurut hukum yang tertentu, sehingga usaha pendidik
dan pendidikan tidak mampu melaksanakan tugasnya.[5]
2.
Teori Emperisme
Emperisme besal dari kata emperi yang berarti pengalaman. Aliran
ini beralawanan dengan aliran nativisme. Teori ini berpendapat bahwa factor
lingkungan, terutama lingkungan pendidikan sangat berpengaruh bahkan menentukan
terhadap perkembangan manusia. Tokoh aliran ini ialah Jhon Locke (1632- 1704)
bangsa inggris. Dia menyatakan bahwa manusia sejak dengan jiwa kosong dan jiwa
ini terisi oleh ide – ide atau pengertian, karena pengaruh luar melalui proses
psycologis sensasi dan refleksi.[6]
Menurut Jhon Locke yang dikutip Prof. Imam Barnadib, menerangkan,
sensasi merupakan gejala jiwa yang mempunyai hubungan dengan dunia luar tetapi
tidakdapat meraihnya dan mengerti dengan sesungguhnya apa yang dihayati.
Refleksi adalah pengenalan intuitif yang
dapat memberikan kesan pengetahuan yang
lebih baik kepada manusia dari pada sensasi. Dengan demikian terdapat hubungan
timbal balik antara sensasi dan refleksi untuk membentuk anak yang dalam
keadaan kosong tersebut.
Bertitik tolak dari konsep diatas Jhon Locke mengemukakan bahwa
anak yang lahir ibarat kertas yang masih putih bersih dan pendidik serta
pendidikan dapat membuat dan menentukan tulisan diatas kertas putih tadi
menurut kehendaknya. Karena pendidik dan pendidikan ini dapat menentukan baik
buruknya perkembangan seseorang. Disini pendidikan sangat berkuasa. Teori Jhon
Locke ini dikenal dengan teori tabularasa artinya jiwa anak atau apa yang
dibawa anak sejak lahir seperti meja lilin yang kosong. Yang dilapisi lilin
yang digunakan untuk menulis bangsa yunani.
Dengan demikian menurut teori ini, pendidikan atau pengajaran anak
pasti berhasil dalam usahanya membentuk lain dari teori ini adalah:
a.
Teori
Optimisme (paedagogiek optimism) dengan alas an adanya karena teori ini sangat
yakin dan optimis akan keberhasilan upaya pendidikan dalam membina kepribadian
anak.
b.
Teori
yang berorientasi lingkungan (Environmentalisme), dinamakan demikan karena
lingkungan lebih banyak menentukan terhadap corak perkembangan anak.
c.
Teori
Tabolarasa, karena paham ini mengibaratkan anak lahir dalam kondisi putih
bersih seperti meja lilin (Tabola/Table = meja ; rasa = lilin).[7]
3.
Teori Konvergensi
Secara kata konvergensi berasal dari kata perkataan convergent
artinya bertemu pada suatu titik. Dalam pendidikan konvergensi berarti
bertemunya bakat dan pengaruh lingkungan sehingga apa yang terjadi pada anak
harus dipandang sebagai hasil dari kedua faktor tersebut. Teori ini dipelopori
oleh William stern (1871 – 1938) seorang filsuf dan psikolog Jerman.[8]
Di sini dapat dipahami bahwa kepribadian seorang anak akan
terbentuk dengan baik apabila dibina oleh suatu Pendidikan (Pengalaman) yang
baik serta ditopang oleh bakat yang merupakan pembawaan lahir.[9]
Jadi, pada kedua teori di atas yakni teori nativisme dan teori
emperisme mempunyai pandangan yang berbeda. Di satu pihak nativisme menitik
beratkan pada faktor pembawaan atau herditas sebagai faktor perkembangan
manusia dan mengingkari adanya pengaruh lingkungan. Sedangkan, emperisme
menitik beratkan pada faktor lingkungan yang sangat menetukan perkembangan manusia
dan tidak mengakui adanya faktor dasar yang dipunyai manusia sejak lahir.
Sebaliknya, teori konvergensi sebagai aliran yang menggabungkan
atau memadukan faktor pembawaan dan faktor lingkungan yang menentukan
perkembangan manusia.
B.
Keharusan Pendidikan
Manusia
sejak lahir sangat membutuhkan bantuan orang lain, khususnya kedua orang
tuanya. Dapat dibayangkan seandainya anak manusia pada saat lahir dibiarkan
begitu saja oleh ibunya, tanpa sentuhan apapun sedikitpun. Dengan mengabaikan
kekuasaan Tuhan, kematianlah yang akan menjemputnya pada anak yang
ditelantarkan tersebut.[10]
Keharusan
mendidik anak telah disebut-sebut, misalnya karena anak pada saat lahir dalam
keadaan tidak berdaya, anak tidak langsung dewasa, sehingga anak memerlukan
perhatian dan bantuan orang lain. Dengan keterbatasan kemampuan anak
menyebabkan ia perlu mendapat pendidikan. Keterbatasan anak dikarenakan, anak
lahir dalam keadaan tidak berdaya, dan ia tidak langsung dewasa.[11]
Pendidikan merupakan suatu
keharusan, karena pada hakikatnya manusia dilahirkan dengan keadaan tidak
berdaya karena ia membutuhkan bantuan orang lain belum bisa melakukan segala
sesuatunya sendiri. (Saduloh, 2010;72) tentu saja dalam suatu pendidikan
seseorang tidak bisa langsung melakukan semuanya sendiri karena pada saat lahir
seorang manusia tidak langsung dewasa dan memahami nilai dan moral yang ada
dikehidupan sehingga manusia itu perlu dibimbing. Manusia juga tidak akan
memiliki rasa tanggung jawab untuk menanggung segala konsekuensi dan
perbuatannya tanpa mengalami proses pendidikan yang terbentuk dari suatu
kebiasaan.[12]
MJ. Langeveld mengemukakan bahwa
manusia pada hakekatnya adalah:
1. Animal educabile, artinya manusia itu pada hakekatnya adalah
makhluk yang dapat dididik.
2. Animal educandum, artinya manusia pada hakekatnya adalah manusia
yang harus dididik.
3. Homo educandus, artinya manusia pada hakekatnya makhluk yang dapat
dan harus mendidik, juga dapat dan harus dididik.[13]
Kembali pada persoalan pokok dari uraian ini, mengapa pendidikan
itu merupakan keharusan pada manusia? Jawaban terhadap persoalan ini dapat
ditinjau dari dua segi:
1. Ditinjau dari segi anak sebagai anak
didik
Keharusan pendidikan diberikan kepada anak didik sebagai anak didik
berdasarkan suatu kenyataan bahwa:
a. Anak mempunyai insting.
Hal tersebut merupakan pembawaan sejak lahir dan sebagai modal
pokok kemampuan manusia sehingga manusia dapat mempertahankan dan mengembangkan
hidupnya. Insting ini perlu dikembangkan agar manusia dapat membedakan dirinya
dengan dunia binatang.
Insting pada manusia sifatnya dapat menerima input atau ransangan
dari luar baik disengaja maupun tidak disengaja sehingga terjadi perkembangan
dan perubahan pada insting tadi. Sedangkan insting pada binatang sifatnya
tertutup artinya tidak dapat menerima pengaruh dan ransangan dari luar sehingga
dunia binatang sifatnya tetap.[14]
Jadi, pengembangan insting dapat dilakukan dengan memberikan
pengaruh dari luar berupa pendidikan. Karena pendidikan berusaha mengurangi
peranan insting dan mengembangkan peranan pikiran dan budi pekerti manusia
untuk kesejahteraan manusia.
b.
Manusia
sejak lahir mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan.
Anak dilahirkan masih harus memerlukan pertolongan dan bantuan dari
orang lain. Pertumbuhan dan perkembangan ini terjadi pada segi-segi fisik,
psikis, sosial dan keagamaan.
1)
Fisik
perlu dikembangkan untuk menuju pertumbuhan jasmani yang dewas dan sehat.
2)
Psikis
memerlukan bantuan agar tercapai manusia yang dewasa, manusia yang berdiri
sendiri dan bertanggung jawab dalam kehidupannya.
3)
Rasa
sosial perlu ditumbuhkan agar manusia dapat menjadi anggota masyarakat yang
berguna dan mengerti hak dan kewajiban sebagai individu dalam masyarakat.
4)
Rasa
keagamaan manusia perlu ditingkatkan agar manusia dapat taqwa dan beribadah
kepada Tuhannya, untuk kesejahteraan
kehidupan akhiratnya.[15]
Pendek kata segi-segi kehidupan di atas masih sangat membutuhkan
pertolongan dari orang lain sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara
maksimal, sehingga tercapai manusia dewasa lahir batin. Sedangkan pendidikan
berfungsi untuk mengembangkan aspek-aspek tadi.
Untuk sampai pada kedewasaan yang merupakan tujuan pendidikan dalam
arti khusus, memerlukan waktu lama. Pada manusia primitif mungkin proses
pencapaian kedewasaan tersebut akan lebih pendek dibandingkan dengan manusia
modern dewasa ini. Pada manusia primitif cukup dengan mencapai kedewasaan
secara konvensional, di mana apabila seseorang sudah memiliki keterampilan untuk
hidup, khususnya untuk hidup berkeluarga, seperti dapat berburu, dapat bercocok
tanam, mengenal nilai-nilai atau norma-norma hidup bermasyarakat, sudah dapat
dikatakan dewasa. Dilihat dari segi usia, misalnya usia 12-15 tahun, pada
masyarakat primitif sudah dapat melangsungkan hidup berkeluarga. Pada
masyarakat modern tuntutan kedewasaan lebih kompleks, sesuai dengan makin
kompleksnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dan juga makin kompleksnya sistem
nilai.[16]
Jika anak tidak memerlukan pendidikan, ini berarti anak sejak lahir
telah dewasa, artinya tidak lagi bantuan orang lain. Hal ini bertentangan
dengan kodrat manusia dan kenyataan sehari-hari yang mana anal lahir dalam
keadaan tidak berdaya dan sangat memerlukan bantuan dari ibunya dan orang
dewasa untuk memelihara dan merawatnya.[17]
c.
Manusia
yakni anak didik tidak hanya hidup sebagai individu yang mempunyai kebebasan
atas hak-haknya, tetapi manusia hidup dalam ikatan kelompok sesama manusia
yakni kehidupan bermasyarakat.
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Ia tidak akan
menjadi manusia seandainya tidak hidup bersama dengan manusia lainnya. Lain halnya
dengan hewan, di mana pun hewan dibesarkan, tetap akan memiliki perilaku hewan.
Seekor kucing yang dibesarkan dalam lingkungan anjing akan tetap berperilaku
kucing, tidak akan berperilaku anjing, karena setiap jenis hewan sudah
dilengkapi dengan insting tertentu yang pasti dan seragam, yang berbeda antara
jenis hewan yang satu dengan jenis hewan lainnya.[18]
Dalam kehidupan manusia
mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu dimana manusia satu dengan manusia
lainnya harus bekerja sama, tolong menolong dan didik mendidik untuk
kesejahteraan sosial.[19]
Kesejahteraan sosial ini dapat dicapai jika dalam masyarakat tadi
terjadi proses pendidikan. Karena itu suatu keharusan bagi manusia mendapatkan
pendidikan, agar tercipta masyarakat yang maju dan modern serta dapat
menunjukkan produktivitas dalam kehidupannya.
2.
Ditinjau dari segi pendidik sebagai orang dewasa
Orang dewasa mempunyai keharusan untuk melaksanakan usaha-usaha
yang bersifat pendidikan terhadap orang yang belum dewasa. Dasar pemikiran ini
didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a.
Manusia
sebagai makhluk sosial
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Ia tidak akan
menjadi manusia seandainya tidak hidup bersama dengan manusia lainnya. Lain
halnya dengan hewan, di mana pun hewan dibesarkan, tetap akan memiliki perilaku
hewan. Seekor kucing yang dibesarkan dalam lingkungan anjing akan tetap
berperilaku kucing, tidak akan berperilaku anjing, karena setiap jenis hewan
sudah dilengkapi dengan insting tertentu yang pasti dan seragam, yang berbeda
antara jenis hewan yang satu dengan jenis hewan lainnya.[20]
Artinya bahwa makhluk harus hidup di masyarakat dan harus
bermasyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia saling bergaul, saling
berinteraksi dan terikat satu sama lainnya yang mengikuti suatu system adat
istiadat tertentu yang bersifat kontinyu. Keterikatan manusia sebagai warga
masyarakatyang menyebabkan manusia saling tolong menolong, hidup bersama dan
didik mendidik untuk mencapai kesejahteraan dan kecerdasan anggotanya. Dengan
demikian sifat sosial dari orang dewasa yang mengharuskan manusia melakukan
kegiatan-kegiatan yang bernilai pendidikan.[21]
b.
Orang
dewasa sebagai makhluk yang berbudaya
Artinya manusia mempunyai kemampuan untuk menciptakan nilai-nilai
kebudayaan yang tercipta dalam cipta, karsa, dan rasa. Kebudayaan yang
diciptkan sebelumnya memerlukan penerusan, pengawetan dan pengembangan bagi
generasi berikutnya.
Disinilah mengandung pemahaman, bahwasanya manusia mendidik manusia
lainnya, agar kebudayaan tadi dapat dipertahankan dalam kehidupan selanjutnya.
Pendidikan berperan sangat besar sekali terhadap perkembangan nilai-nilai
budaya terhadap generasi berikutnya. Karena pendidikan dapat memperkenalkan,
mengolah, mensleksi dan mengembangkan kebudayaan melalui latihan-latihan yang
diberikan kepada anggota masyarakat.
Orang dewasa sebagai manusia yang telah mempunyai banyak pengalaman-pengalaman
termasuk pengalaman berbudaya, mempunyai kewajiban dan memperkenalkan dan
mengembangkan kebudayaan tadi kepada manusia yang belum dewasa.[22]
Bahwa disamping
manusia sebagai makhluk berbudaya, dalam batas tertentu mempunyai ide-ide atau cita-cita
hidup. Ide-ide dan gagasan manusia banyak yang hidup dalam masyarakat, memberi
jiwa kepada masyarakt. Gagasan-gagasan itu tidak lepas satu dari yang lain,
melainkan berkaitan, menjadi satu system. Salah satu ide-ide tadi adalah
kegiatan manusia untuk mendidik manusia lainnya. Minimal mendidik putera
puterinya. Cita-cita ini yang mengharuskan manusia memberikan pendidikan
terhadap lainnya walaupun tidak sempurna. [23]
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu,. (1991). Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT
Rineka Cipta. Cet. Pertama
Jasiah,. (2008). Pengantar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta:
ByaktaCendikia. Cet. Pertama
Sadulloh,
Uyoh,. (2010). Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: Alfabeta. Cet.
Pertama
http://hananunayhafifah.blogspot.com/2012/03/tujuan-batasan-dan-kemungkinan.
html di akses pada 22 Oktober 2013
[1]
Jasiah, M.Pd, Pengantar Ilmu Pendidikan, hal. 32
[2]
Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd., dkk., Pedagogik (Ilmu Mendidik), hal. 102
[3]
http://hananunayhafifah.blogspot.com/2012/03/tujuan-batasan-dan-kemungkinan.html
di akses pada 22 Oktober 2013
[4]
Jasiah, M.Pd, Pengantar Ilmu Pendidikan, hal. 32
[5]
Ibid, hal 33
[6]
Ibid.
[7]
Drs. H. Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan, hal. 20
[8]
Jasiah, M.Pd, Pengantar Ilmu Pendidikan, hal. 34
[9]
Op. Cit, hal. 21
[10]
Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd., dkk., Pedagogik (Ilmu Mendidik), hal. 95
[11]
Ibid, hal 96
[12]
http://hananunayhafifah.blogspot.com/2012/03/tujuan-batasan-dan-kemungkinan.html
di akses pada 22 Oktober 2013
[13]
Jasiah, M.Pd, Pengantar Ilmu Pendidikan, hal. 35
[14]
Ibid, hal. 36
[15]
Ibid, hal. 37
[16]
Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd., dkk., Pedagogik (Ilmu Mendidik), hal. 97
[17]
Jasiah, M.Pd, Pengantar Ilmu Pendidikan, hal. 37
[18]
Op. Cit, hal. 98
[19]
Op. Cit.
[20]
Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd., dkk., Pedagogik (Ilmu Mendidik), hal. 98
[21]
Jasiah, M.Pd, Pengantar Ilmu Pendidikan, hal. 38
[22]
Ibid, hal. 39
[23]
Ibid.
sukron.....ya bermanfaat sekali bagi saya.
BalasHapus