bisnis online

Sabtu, 16 November 2013

Kemungkinan dan Keharusan Pendidikan



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kemungkinan Pendidikan
Manusia disatu pihak telah mempunyai pembawaan sejak lahir dan berada dalam lingkungan tertentu dipihak lain, dalam proses perkembangan hidup berikutnya. Ki Hajar Dewantoro menyebut pembawaan sebagai dasar dan lingkungan sebagai ajar atau dalam bahasa Inggrisnya pembawaan dinamakan nature dan lingkungan disebut nurture.
Kedua masalah ini merupakan suatu masalah yang telah lama diperbincangkan oleh para ahli pendidikan. Persoalannya berkisar apakah perkembangan manusia ditentukan oleh pembawaannya, atau ditentukan oleh lingkungannya dan ataukah dipengaruhi oleh factor pembawaan dan lingkungannya.[1]
Diakui bahwa pada manusia ada hal-hal tertentu yang didapatkan secara alami, dan hal itu tidak dapat ditawar-tawar lagi. Misalnya tentang bakat dan jenis kelamin. Orang dilahirkan dengan bakat bawaan tertentu. Hal ini diluar kemampuannya. Dan memang untuk hal-hal orang tidak dapat  diminta pertanggung jawaban. Pendidik tidak dapat berbuat apa-apa dengan bakat itu, dalam arti pendidik harus menolak bakat tersebut, atau sebaliknya biarkan anak berkembang secara alamiah tanpa camur tangan pendidik.[2]
Dalam menyelesaikan persoalan ini timbul teori-teori pendidikan sebagai berikut :

1.      Teori Nativisme
Secara kata, perkataan nativisme berasal dari kata natives, artinya pembawaan. Aliran ini mengatakan manusia telah membawa potensi-potensi dasar yang dibawa sejak dilahirkan yang sangat menentukan perkembangan manusia.
Menurut teori nativisme, anak yang baru lahir telah memiliki bakat, potensi dan sifat-sifat tertentu yang sangat menentukan terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak tersebut. Pendidikan lingkungan tidak berpengaruh apa apa terhadap perkembangan anak tersebut.[3]
Potensi dasar manusia yang dibawa sejak lahir tersebut bersifat kodrat atau alamiah. Karena itu aliran ini disebut juga aliran Naturalisme. Aliran ini dipelopori oleh jean jaques rousseau (1712- 1778) kebangsaan Swiss. Dia berpendapat bahwa pendidikan itu tidak ada hasilnya bahkan usaha- usaha pendidikan yang dikerjakan oleh manusia itu justru dapat merusak perkembangan anak secara wajar atau alamiah.[4]
Pembawaan yang ada pada anak adalah baik semua. Adapun anak menjadi jelek karena pengaruh yang diterima dari luar dirinya. Pendidik hanya wajib membiarkan anak didik, terserah selanjutnya pada alam. Karena sikapnya yang menentang terhadap segala pengaruh dari luar, terutama pengaruh pendidikan maka aliran ini dinamakan Negativisme. Demikian pula aliran Pesimisme,  sebab pendidikan dianggapnya tidak dapat member pengaruh terhadapa manusia. Manusia sebenarnya hanyalah merupakan peroses alam yang berjalan menurut hukum yang tertentu, sehingga usaha pendidik dan pendidikan tidak mampu melaksanakan tugasnya.[5]

2.      Teori Emperisme
Emperisme besal dari kata emperi yang berarti pengalaman. Aliran ini beralawanan dengan aliran nativisme. Teori ini berpendapat bahwa factor lingkungan, terutama lingkungan pendidikan sangat berpengaruh bahkan menentukan terhadap perkembangan manusia. Tokoh aliran ini ialah Jhon Locke (1632- 1704) bangsa inggris. Dia menyatakan bahwa manusia sejak dengan jiwa kosong dan jiwa ini terisi oleh ide – ide atau pengertian, karena pengaruh luar melalui proses psycologis sensasi dan refleksi.[6]
Menurut Jhon Locke yang dikutip Prof. Imam Barnadib, menerangkan, sensasi merupakan gejala jiwa yang mempunyai hubungan dengan dunia luar tetapi tidakdapat meraihnya dan mengerti dengan sesungguhnya apa yang dihayati. Refleksi adalah pengenalan intuitif  yang dapat memberikan kesan  pengetahuan yang lebih baik kepada manusia dari pada sensasi. Dengan demikian terdapat hubungan timbal balik antara sensasi dan refleksi untuk membentuk anak yang dalam keadaan kosong tersebut.
Bertitik tolak dari konsep diatas Jhon Locke mengemukakan bahwa anak yang lahir ibarat kertas yang masih putih bersih dan pendidik serta pendidikan dapat membuat dan menentukan tulisan diatas kertas putih tadi menurut kehendaknya. Karena pendidik dan pendidikan ini dapat menentukan baik buruknya perkembangan seseorang. Disini pendidikan sangat berkuasa. Teori Jhon Locke ini dikenal dengan teori tabularasa artinya jiwa anak atau apa yang dibawa anak sejak lahir seperti meja lilin yang kosong. Yang dilapisi lilin yang digunakan untuk menulis bangsa yunani.
Dengan demikian menurut teori ini, pendidikan atau pengajaran anak pasti berhasil dalam usahanya membentuk lain dari teori ini adalah:
a.       Teori Optimisme (paedagogiek optimism) dengan alas an adanya karena teori ini sangat yakin dan optimis akan keberhasilan upaya pendidikan dalam membina kepribadian anak.
b.      Teori yang berorientasi lingkungan (Environmentalisme), dinamakan demikan karena lingkungan lebih banyak menentukan terhadap corak perkembangan anak.
c.       Teori Tabolarasa, karena paham ini mengibaratkan anak lahir dalam kondisi putih bersih seperti meja lilin (Tabola/Table = meja ; rasa = lilin).[7]

3.      Teori Konvergensi
Secara kata konvergensi berasal dari kata perkataan convergent artinya bertemu pada suatu titik. Dalam pendidikan konvergensi berarti bertemunya bakat dan pengaruh lingkungan sehingga apa yang terjadi pada anak harus dipandang sebagai hasil dari kedua faktor tersebut. Teori ini dipelopori oleh William stern (1871 – 1938) seorang filsuf dan psikolog Jerman.[8]
Di sini dapat dipahami bahwa kepribadian seorang anak akan terbentuk dengan baik apabila dibina oleh suatu Pendidikan (Pengalaman) yang baik serta ditopang oleh bakat yang merupakan pembawaan lahir.[9]

Jadi, pada kedua teori di atas yakni teori nativisme dan teori emperisme mempunyai pandangan yang berbeda. Di satu pihak nativisme menitik beratkan pada faktor pembawaan atau herditas sebagai faktor perkembangan manusia dan mengingkari adanya pengaruh lingkungan. Sedangkan, emperisme menitik beratkan pada faktor lingkungan yang sangat menetukan perkembangan manusia dan tidak mengakui adanya faktor dasar yang dipunyai manusia sejak lahir.
Sebaliknya, teori konvergensi sebagai aliran yang menggabungkan atau memadukan faktor pembawaan dan faktor lingkungan yang menentukan perkembangan manusia.

B.     Keharusan Pendidikan
Manusia sejak lahir sangat membutuhkan bantuan orang lain, khususnya kedua orang tuanya. Dapat dibayangkan seandainya anak manusia pada saat lahir dibiarkan begitu saja oleh ibunya, tanpa sentuhan apapun sedikitpun. Dengan mengabaikan kekuasaan Tuhan, kematianlah yang akan menjemputnya pada anak yang ditelantarkan tersebut.[10]
Keharusan mendidik anak telah disebut-sebut, misalnya karena anak pada saat lahir dalam keadaan tidak berdaya, anak tidak langsung dewasa, sehingga anak memerlukan perhatian dan bantuan orang lain. Dengan keterbatasan kemampuan anak menyebabkan ia perlu mendapat pendidikan. Keterbatasan anak dikarenakan, anak lahir dalam keadaan tidak berdaya, dan ia tidak langsung dewasa.[11]
Pendidikan merupakan suatu keharusan, karena pada hakikatnya manusia dilahirkan dengan keadaan tidak berdaya karena ia membutuhkan bantuan orang lain belum bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. (Saduloh, 2010;72) tentu saja dalam suatu pendidikan seseorang tidak bisa langsung melakukan semuanya sendiri karena pada saat lahir seorang manusia tidak langsung dewasa dan memahami nilai dan moral yang ada dikehidupan sehingga manusia itu perlu dibimbing. Manusia juga tidak akan memiliki rasa tanggung jawab untuk menanggung segala konsekuensi dan perbuatannya tanpa mengalami proses pendidikan yang terbentuk dari suatu kebiasaan.[12]
MJ. Langeveld mengemukakan bahwa manusia pada hakekatnya adalah:
1.      Animal educabile, artinya manusia itu pada hakekatnya adalah makhluk yang dapat dididik.
2.      Animal educandum, artinya manusia pada hakekatnya adalah manusia yang harus dididik.
3.      Homo educandus, artinya manusia pada hakekatnya makhluk yang dapat dan harus mendidik, juga dapat dan harus dididik.[13]

Kembali pada persoalan pokok dari uraian ini, mengapa pendidikan itu merupakan keharusan pada manusia? Jawaban terhadap persoalan ini dapat ditinjau dari dua segi:

1.      Ditinjau dari segi anak sebagai anak didik
Keharusan pendidikan diberikan kepada anak didik sebagai anak didik berdasarkan suatu kenyataan bahwa:
a.       Anak mempunyai insting.
Hal tersebut merupakan pembawaan sejak lahir dan sebagai modal pokok kemampuan manusia sehingga manusia dapat mempertahankan dan mengembangkan hidupnya. Insting ini perlu dikembangkan agar manusia dapat membedakan dirinya dengan dunia binatang.
Insting pada manusia sifatnya dapat menerima input atau ransangan dari luar baik disengaja maupun tidak disengaja sehingga terjadi perkembangan dan perubahan pada insting tadi. Sedangkan insting pada binatang sifatnya tertutup artinya tidak dapat menerima pengaruh dan ransangan dari luar sehingga dunia binatang sifatnya tetap.[14]
Jadi, pengembangan insting dapat dilakukan dengan memberikan pengaruh dari luar berupa pendidikan. Karena pendidikan berusaha mengurangi peranan insting dan mengembangkan peranan pikiran dan budi pekerti manusia untuk kesejahteraan manusia.

b.      Manusia sejak lahir mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan.
Anak dilahirkan masih harus memerlukan pertolongan dan bantuan dari orang lain. Pertumbuhan dan perkembangan ini terjadi pada segi-segi fisik, psikis, sosial dan keagamaan.
1)      Fisik perlu dikembangkan untuk menuju pertumbuhan jasmani yang dewas dan sehat.
2)      Psikis memerlukan bantuan agar tercapai manusia yang dewasa, manusia yang berdiri sendiri dan bertanggung jawab dalam kehidupannya.
3)      Rasa sosial perlu ditumbuhkan agar manusia dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna dan mengerti hak dan kewajiban sebagai individu dalam masyarakat.
4)      Rasa keagamaan manusia perlu ditingkatkan agar manusia dapat taqwa dan beribadah kepada Tuhannya, untuk kesejahteraan  kehidupan akhiratnya.[15]

Pendek kata segi-segi kehidupan di atas masih sangat membutuhkan pertolongan dari orang lain sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal, sehingga tercapai manusia dewasa lahir batin. Sedangkan pendidikan berfungsi untuk mengembangkan aspek-aspek tadi.
Untuk sampai pada kedewasaan yang merupakan tujuan pendidikan dalam arti khusus, memerlukan waktu lama. Pada manusia primitif mungkin proses pencapaian kedewasaan tersebut akan lebih pendek dibandingkan dengan manusia modern dewasa ini. Pada manusia primitif cukup dengan mencapai kedewasaan secara konvensional, di mana apabila seseorang sudah memiliki keterampilan untuk hidup, khususnya untuk hidup berkeluarga, seperti dapat berburu, dapat bercocok tanam, mengenal nilai-nilai atau norma-norma hidup bermasyarakat, sudah dapat dikatakan dewasa. Dilihat dari segi usia, misalnya usia 12-15 tahun, pada masyarakat primitif sudah dapat melangsungkan hidup berkeluarga. Pada masyarakat modern tuntutan kedewasaan lebih kompleks, sesuai dengan makin kompleksnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dan juga makin kompleksnya sistem nilai.[16]
Jika anak tidak memerlukan pendidikan, ini berarti anak sejak lahir telah dewasa, artinya tidak lagi bantuan orang lain. Hal ini bertentangan dengan kodrat manusia dan kenyataan sehari-hari yang mana anal lahir dalam keadaan tidak berdaya dan sangat memerlukan bantuan dari ibunya dan orang dewasa untuk memelihara dan merawatnya.[17]

c.       Manusia yakni anak didik tidak hanya hidup sebagai individu yang mempunyai kebebasan atas hak-haknya, tetapi manusia hidup dalam ikatan kelompok sesama manusia yakni kehidupan bermasyarakat.
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Ia tidak akan menjadi manusia seandainya tidak hidup bersama dengan manusia lainnya. Lain halnya dengan hewan, di mana pun hewan dibesarkan, tetap akan memiliki perilaku hewan. Seekor kucing yang dibesarkan dalam lingkungan anjing akan tetap berperilaku kucing, tidak akan berperilaku anjing, karena setiap jenis hewan sudah dilengkapi dengan insting tertentu yang pasti dan seragam, yang berbeda antara jenis hewan yang satu dengan jenis hewan lainnya.[18]
Dalam kehidupan  manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu dimana manusia satu dengan manusia lainnya harus bekerja sama, tolong menolong dan didik mendidik untuk kesejahteraan sosial.[19]
Kesejahteraan sosial ini dapat dicapai jika dalam masyarakat tadi terjadi proses pendidikan. Karena itu suatu keharusan bagi manusia mendapatkan pendidikan, agar tercipta masyarakat yang maju dan modern serta dapat menunjukkan produktivitas dalam kehidupannya.

2.      Ditinjau dari segi pendidik sebagai orang dewasa
Orang dewasa mempunyai keharusan untuk melaksanakan usaha-usaha yang bersifat pendidikan terhadap orang yang belum dewasa. Dasar pemikiran ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

a.       Manusia sebagai makhluk sosial
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Ia tidak akan menjadi manusia seandainya tidak hidup bersama dengan manusia lainnya. Lain halnya dengan hewan, di mana pun hewan dibesarkan, tetap akan memiliki perilaku hewan. Seekor kucing yang dibesarkan dalam lingkungan anjing akan tetap berperilaku kucing, tidak akan berperilaku anjing, karena setiap jenis hewan sudah dilengkapi dengan insting tertentu yang pasti dan seragam, yang berbeda antara jenis hewan yang satu dengan jenis hewan lainnya.[20]
Artinya bahwa makhluk harus hidup di masyarakat dan harus bermasyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia saling bergaul, saling berinteraksi dan terikat satu sama lainnya yang mengikuti suatu system adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu. Keterikatan manusia sebagai warga masyarakatyang menyebabkan manusia saling tolong menolong, hidup bersama dan didik mendidik untuk mencapai kesejahteraan dan kecerdasan anggotanya. Dengan demikian sifat sosial dari orang dewasa yang mengharuskan manusia melakukan kegiatan-kegiatan yang bernilai pendidikan.[21]

b.      Orang dewasa sebagai makhluk yang berbudaya
Artinya manusia mempunyai kemampuan untuk menciptakan nilai-nilai kebudayaan yang tercipta dalam cipta, karsa, dan rasa. Kebudayaan yang diciptkan sebelumnya memerlukan penerusan, pengawetan dan pengembangan bagi generasi berikutnya.
Disinilah mengandung pemahaman, bahwasanya manusia mendidik manusia lainnya, agar kebudayaan tadi dapat dipertahankan dalam kehidupan selanjutnya. Pendidikan berperan sangat besar sekali terhadap perkembangan nilai-nilai budaya terhadap generasi berikutnya. Karena pendidikan dapat memperkenalkan, mengolah, mensleksi dan mengembangkan kebudayaan melalui latihan-latihan yang diberikan kepada anggota masyarakat.
Orang dewasa sebagai manusia yang telah mempunyai banyak pengalaman-pengalaman termasuk pengalaman berbudaya, mempunyai kewajiban dan memperkenalkan dan mengembangkan kebudayaan tadi kepada manusia yang belum dewasa.[22]

Bahwa disamping manusia sebagai makhluk berbudaya, dalam batas tertentu mempunyai ide-ide atau cita-cita hidup. Ide-ide dan gagasan manusia banyak yang hidup dalam masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakt. Gagasan-gagasan itu tidak lepas satu dari yang lain, melainkan berkaitan, menjadi satu system. Salah satu ide-ide tadi adalah kegiatan manusia untuk mendidik manusia lainnya. Minimal mendidik putera puterinya. Cita-cita ini yang mengharuskan manusia memberikan pendidikan terhadap lainnya walaupun tidak sempurna. [23]


DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu,. (1991). Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Cet. Pertama
Jasiah,. (2008). Pengantar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: ByaktaCendikia. Cet. Pertama
Sadulloh, Uyoh,. (2010). Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: Alfabeta. Cet. Pertama
http://hananunayhafifah.blogspot.com/2012/03/tujuan-batasan-dan-kemungkinan. html di akses pada 22 Oktober 2013


[1] Jasiah, M.Pd, Pengantar Ilmu Pendidikan, hal. 32
[2] Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd., dkk., Pedagogik (Ilmu Mendidik), hal. 102
[3] http://hananunayhafifah.blogspot.com/2012/03/tujuan-batasan-dan-kemungkinan.html di akses pada 22 Oktober 2013
[4] Jasiah, M.Pd, Pengantar Ilmu Pendidikan, hal. 32
[5] Ibid, hal 33
[6] Ibid.
[7] Drs. H. Abu Ahmadi, Psikologi Perkembangan, hal. 20
[8] Jasiah, M.Pd, Pengantar Ilmu Pendidikan, hal. 34
[9] Op. Cit, hal. 21
[10] Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd., dkk., Pedagogik (Ilmu Mendidik), hal. 95
[11] Ibid, hal 96
[12] http://hananunayhafifah.blogspot.com/2012/03/tujuan-batasan-dan-kemungkinan.html di akses pada 22 Oktober 2013
[13] Jasiah, M.Pd, Pengantar Ilmu Pendidikan, hal. 35
[14] Ibid, hal. 36
[15] Ibid, hal. 37
[16] Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd., dkk., Pedagogik (Ilmu Mendidik), hal. 97
[17] Jasiah, M.Pd, Pengantar Ilmu Pendidikan, hal. 37
[18] Op. Cit, hal. 98
[19] Op. Cit.
[20] Drs. Uyoh Sadulloh, M.Pd., dkk., Pedagogik (Ilmu Mendidik), hal. 98
[21] Jasiah, M.Pd, Pengantar Ilmu Pendidikan, hal. 38
[22] Ibid, hal. 39
[23] Ibid.

1 komentar: